Rabu, 20 April 2011

dalapan

بِاسْمِكَ اللّهُمَّ أَحْيَاوَأَمُوتُ

Dengan nama-Mu ya Allah aku hidup dan mati

Merengkuh mimpi dalam genggaman khayal
Seakan malam sudah terikat disini
Jelaga hati selalu terdampar diujung pantaimu
Wahai pemilik mimpi, hamparkan aku kembali esok pagi........

Selasa, 19 April 2011

tujuh

Nama bagus
Cerita ini sebenarnya secuil kisah tentang nama-nama teman di kampus teknik tempat aku kuliah  dulu, yang mayoritas lelaki. Nah, mungkin ketika mendengar kata-kata nama bagus orang-orang akan berpikiran nama-nama seperti Clara, Rani, Yessi, Shinta, atau Angel untuk wanita dan Mike, Joni, Boby, atau David untuk laki-laki. Pokoknya nama-nama yang kedengaran keren dan modern deh.
Tapi kenyataanya sungguh berbalik, nama bagus di kampus kami justru adalah nama panggilan sehari-hari yang awalnya adalah hanya untuk meledek nama asli kami, alias nama julukan dari kakak kelas angkatan untuk kami, terutama saat masa-masa ospek. Jadi nama bagus adalah nama ledekan sedangkan nama jelek adalah nama asli kami, begitulah peraturannya.
Namun, entah mengapa, justru setelah masa ospek selesai, kami malah terbiasa dengan nama-nama bagus kami, jadi seperti nama panggilan yang sudah akrab sekali di telinga kami. Bahkan nama-nama bagus itu seperti membantu kami mengindentifikasi dan mempercepat masa perkenalan kami, juga membantu kami untuk memanggil teman-teman seangkatan yang entah kenapa di angkatan kami saat itu ada lebih dari lima orang yang bernama 'BUDI'.
Jadilah nama-nama bagus tersebut menggantikan nama-nama Budi, seperti Budi Darmawan menjadi Condet, karena rumahnya berada di kawasan Condet, lalu ada Budi Susanto yang berubah menjadi Bancet, Setya Budi Noor menjadi Monyong, Budiyanto  mendapat panggilan Coro, Budi yang lain lagi dipanggil Jepang, karena mukanya mirip orang Jepang, Budi satunya lagi dipanggil Ambon, karena wajahnya mirip orang Ambon, ada juga yang mendapat julukan Semur, kalau dipikir-pikir lagi memang aneh dan lucu. Aku sendiri mendapat panggilan Chimot, entah berasal dari mana kata itu, tahu-tahu ada saja yang memanggilku Chimot.
Nah, kasus 'Budi' tidak berhenti sampai disitu, saat di kelas pun, sering kali terjadi kericuhan kecil. Khususnya saat Dosen mulai mengabsen, karena ada beberapa Dosen yang rupanya malas menyebut nama kami dengan lengkap dan jelas saat mengabsen. Jadi pada saat Dosen menandatangani kartu absen dan memanggil kami untuk mengambil kartu tersebut, Dosen hanya menyebutkan nama yang paling mudah disebut. Giliran nama Budi yang disebut, kadang kami serentak berseru "Budi yang mana Pak?" barulah Dosen menyebut nama Budi tersebut dengan lengkap.
Atau kasus lain, saat sudah ada beberapa kali nama Budi disebut dan masing-masing temanku yang bernama Budi itu maju, masih ada Budi yang lain yang belum diabsen, lalu ketika namanya disebut, maka majulah ia tapi malah Dosen kami yang bingung dan berkata "Lho? Bukannya kamu sudah maju tadi?". Hahaha...dikiranya temenku itu mengambil titipan absen dari teman yang mangkir masuk kelas.
Kasus Budi di kelas kami memang kadang membuat ricuh dan membuat kami tertawa saat proses absen. Akhirnya Dosen kami menyerah, lalu mulai menerapkan metode absen dengan penomoran sesuai urut absen dari pihak akademik dan itupun berlaku jika kami harus menyerahkan tugas kuliah, selain nama ada juga nomor urut absen. Rupanya mereka sering dibuat bingung dengan para 'Budi' ini. Jadilah saat diabsen Dosen hanya memanggil kami dengan nomor satu, dua, tiga, empat dan seterusnya sampai nomor urut terakhir.
Kasus yang lain adalah saat kami membuat kaus untuk club bola, beberapa orang yang bernama Budi, serta Budi-Budi dari angkatan lain ikut di club yang sama. Karena masing-masing memang dipanggilnya Budi di lingkungan rumahnya, akhirnya kamipun sepakat untuk tetap menggunakan nama bagus masing-masing di kaos bola tersebut. Coba bayangkan di punggung kaos bola tertulis SEMUR no. 10, CORO no. 12,  atau MONYONG no. 7.
Herannya lagi, ada beberapa Budi yang berteman akrab, sampai-sampai saat mendapat tugas kelompok, mereka memilih ikut bergabung dalam kelompok yang sama. Pernah satu ketika, saat kebetulan aku dan tiga Budi lainnya tergabung dalam satu kelompok, kami berniat mengerjakannya di salah satu rumah teman kami yang bernama Budi tersebut. Karena aku kebetulan tidak hafal dengan daerah rumahnya, maka ketika sampai di depan gerbang kompleknya, aku berinisiatif menelpon dan yang menjawab adalah Ibu teman kami yang bernama Budi yang punya rumah.
Saat aku bicara “Bisa bicara dengan Budi. Bu?”
Sang ibu menjawab “Bisa, mau Budi yang mana, ada banyak nih?”
Lha? Jadi aku yang bingung, memangnya ada berapa Budi dirumahnya? Atau ada anaknya yang lain bernama Budi juga. Saat itu aku tidak terpikir jika sang Ibu sudah tahu kalau nama teman-teman anaknya juga bernama Budi. Hahaha….jadi aku yang kena dikerjai karena nama Budi.

Senin, 04 April 2011

genep

Mini story 1

Menunggumu, ditrotoar jalan itu

Rasanya menunggunya seperti seabad, sudah pegal betis ini dibuatnya, orang yang berjanji akan menjemputnya sudah telat satu jam dari waktu yang ditentukan.

Asap dan debu dengan asyiknya berterbangan mengelilingi tubuhnya, mengincar masuk kedalam rongga pernapasannya, jika saja ia tidak segera menutup mulut dan hidung dengan saputangan, niscaya asap dan debu itu mungkin lebih riang lagi menari-nari didalam tubuhnya.

'coba tadi janjiannya di mal saja, tidak akan seerti ini nih' bathinnya menggerutu, ya memang jika dia menunggu orang itu di mal, setidaknya ia bisa cuci mata, keliling dari satu toko ke toko lainnya, damai dengan dinginnya penyejuk ruangan, tidak harus kepanasan serta bergelut dengan debu seperti sekarang ini.

Seorang tukang es cincau lewat didepannya, teng...teng...teng....
"Cincau mba?" sang penjual menawarkan dagangannya
"Tidak pak!' jawabnya, mencoba sambil tersenyum dibalik saputangan yang masih melekat dimulutnya

"Rujak mba?" seorang penjual yang juga lewat menawarkan dagangannya
Dia hanya menjawab dengan lambaian tangan, berarti tidak

'Ya ampun, lama sekali orang ini' bathinnya kembali mengeluh
Dia melihat jam tangannya, 1 jam 15 menit sudah berlalu dari waktu yang dijanjikan
Dia menganbil handphonenya, memencet tombol yes, meredial nomor terakhir yang dituju
kriing.....kring.....kring....sampai terdengar bunyi tut..tut...tut.....
Tak ada jawaban

'Kamu ada dimana sih?' Dia bertanya dalam hati, sambil mencari-cari tempat yang kira-kira lebih teduh dari pohon yang awalnya dia berdiri, waktu telah bergulir, bayangan pohon itu kini menjadi milik sang batang

sementara disimpang jalan 500 meter dari tempatnya sang gadis berdiri,
seorang lelaki, dengan jaket dan tas punggung, bermandi peluh
mendorong motornya, mencari tukang tambal ban, yang biasanya mangkal di pinggir jalan
Dua tangannya sibuk mendorong stang motor besarnya, tak lagi mendengar suara hapenya terus menerus berbunyi....karena dikepalanya masih bercokol helm serta sepanjang jalan,
kendaraan riuh sekali......

Dua jam, hingga akhirnya, sang lelaki berhasil mendapatkan tukang tambal ban
Membereskan masalah ban motornya yang bocor
Bersiap-siap menuju tempat ia berjanji dengan seorang gadis
dan terkesiap, saat sadar di hapenya telah terekam 10 panggilan tak terjawab dari nomor sang gadis
Lelaki itupun segera memencet tombol yes, mencoba menghubungi kembali nomor tersebut

Sementara, sang gadis tengah berdiri, diantara penumpang lain, didalam metromini
Mengeset hapenya dalam posisi sunyi
dan enggan mengangkat telpon, meski ia tahu dari getaran yang ia rasakan
Penumpang metromini ini terlalu padat, sulit baginya untuk bergerak

Sudahlah......pikirnya. toh nanti bisa di telpon balik.